Minggu, 09 Desember 2007

Hukum Islam

EKONOMI SYARIAH
ISLAM

Pada dasarnya Allah SWT telah menjadikan menusia masing-masing berhajat kepada yang lain, supaya mereka bertolong-tolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kepentingan umum. Dengan cara demikian, kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, serta pertalian yang satu dengan yang lain menjadi semakin teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri, supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya muamalat, penghidupan manusia jadi terjamin pula sebaik-baiknya, perbantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Lukmanul Hakim kepada anaknya : “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yanghalal itu tidak akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit, (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya, (3) hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalat ialah tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain usaha.

A. Kedudukan Harta Dalam Islam
Isalm mengatur masalah masalah harta prtukarannya yaitu hal-hal yang berhubungan mengenai jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, menjual sesuatu tanpa melihat zatnya, pinjam-meminjam, menitipkan bendanya, berwakil, memindahkan hutang dan tanggungan seseorang kepada orang lain, memjamin hutang atau menghadirkan benda atau orang ketempat yang ditentukan, melarang, menahan seseorang mengedarkan atau memindahkan hartanya, minta kembalikan benda yang hilang dengan pembayaran yang ditentukan, harta atau tanggungan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia, pesan atau amanah yang diucapkan ditulis oleh seseorang mengenai harta atau tanggungan yang wajib dilaksanakan oleh orang yang menerima wasiat.
Orang yang mengikuti ajaran-ajaran Islam di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rosul akan menarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti yaitu bahwa Iaslam adalah agama untuk hidup. (religion for life)
Tidak mengerankan bila harta itu di dalam sistem Islam mempunyai nilai yang tinggi, kedudukannya yang terhormat. Memang tidak diragukan lagi bahwa dalam hidup ini tidak bisa dicapai kesempurnaan, kebahagiaan, kehormatan, ilmu, kesehatan, kekuatan, kemakmuran dan ketinggian, kecuali dengan harta.
Al-qur’an memandang kepada harta dengan pandangan yang realistis, dinyatakannya harta itu dengan anak-anak, merupakan kebutuhan primer bagi manusia, kebutuhan bagi perseorangan maupun kepentingan bersama. Harta dan anak merupakan suatu amanah atau cobaan.
Islam adalah agama praktis, maka deengan hukum-hukumnya berdasarkan fakta-fakta telah diatur kebutuhan-kebutuhan hidup, dan pada waktu yang sama digabungkannya antara kepentingan-kepentingan rohani dan jasmani secara adil dan seimbang, dan Islam telah menggariskan jalan kearah kebahagiaan rohani. Sudah semestinya pula bila ia menggariskan jalan kearah kebahagiaan jasmani dengan memerintahkan cara-cara mencari harta dan memanfaatkannya. Islam menganjurkan supaya mencari harta melalui cara yang baik, dimana terdapat kebaikan bagi manusia, kegiata dan pekerjaan, kemakmuran dunia, perkunjungan berbagai negri, pergaulan dan perkenalan, bekerja sama dan tukar menukar kepentingan.

B. Jalan Mencari Harta dan Memanfaatkannya
Jalan mencari harta, diantaranya adalah :
1) Perdagangan
Islam memerintahkan mencari harta melalui perdagangan, mengemembara ke Yaman dan Ke Syam seperti yang telah dimungkinkan oleh Allah bagi orang Qureisy, dan Allah mengingatkan pula kebaikan dan karunia-Nya : Allah SWT berfirman dalam Al-qu’an, S Qureisy, ayat 1-5.
“ Karena lindungan Allah bagi orang Qureisy, yaitu lindungan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas, maka hendaklah mereka menyembah Allah menghadap keka’bah ini, yang telah memberi makan mereka dari kelaparan dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
2) Pertanian
Islam menyuruh mendapat harta itu dengan harta itu dengan mengerjakan pertanian dengan menghidupkan tanah dan mengelolannya.
Dalam hal ini Al-Qur’an menyebutkan : S. Abasa, ayat 24-32 :
“maka hendaklah manusia melihat kepada makanannya, bagaimana Kami mencurahkan air banyak sekali, kemudian Kami belah-belahkan bumi, maka Kami tumbuhkan disana biji-bijian, anggur dan sayuran, zaitundan korma, kebun-kebun yang hijau yang hijau lebat, buah-buahan dan rumput-rumput sebagai nikmat untukmu dan binatang-binatang kamu”.
3) Perindustrrian
Dianjurkan supaya mencari harta itu dengan jalan pekerjaan tangan atau industri, yaitu yang menjadi tiang yang kuat bagi suatu peradaban. Dalam Al-Qur’an banyak isyarat mengenai industri yang harus untuk kepentingan hidup ini, bahkan ada isyarat untuk mendirikan pabrik besi.
Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an, S. Al-Hadid. 25 :
“pada besi itu ada kekuatan yang besar dan fanfaat yang banyak bagi manusia”.
4) Bangunan
Ada isyarat supaya didirikan istana dan bangunan-bangunan :
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an. S. An-Naml, 44 :
“kemudian dikatakan orang bulgis : masuklah kedalam mahligai ini. Tatkala dilihatnya lantai mahligai itu seolah-olah penuh air lalu disingsingkannya dari betisnya. Berkata Sulaiman : mahligai yang licin terbuat dari kaca-kaca”.
Allah memerintahkannya mencari harta melalui jalan-jalan yang macam itu, dan orang yang mencarinya dinamakan mencari karunia Allah. Sampai demikian Al-Qur’an memperhatikan soal-soal harta sehingga dianjurkan mencarinnya segera setelah selesai melakukan ibadah Jum’at yang wajib, dan tidak dicegahnya mencari rezeki kecuali khusus untuk melakukan ibdah ini.
Macam-macam Ekonomi Syariah Islam

Syariat Islam telah menerangkan masalah-masalah pengaturan dan pengarahan penggunaan harta benda didalam berbagai kehidupan manusia, yang diantaranya :
A. Bai’a (Jual beli)
Jual beli ialah tukar menukar sesuatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (aqad).
Kehidupan manusia didunia ini mempunyai dua segi : segi kebendaan yang dasarnya ialah pertukaran atau pada umumnya yang dasarnya ialah peribadatan. Melalui segi kebendaan, manusia memperoleh apa-apa yang akan dimakan, dan melalui segi kerohanian, ia memberikan dirinya, hatinya, akhlaknya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan ibadat dan menjalankan perintahnya serta menjauhkan larangnya.
Dari segi kebendaan dapatt membukakan pintu syahwat hawa nafsu serta prsaingan, berlomba-lomba mencari banyaknya harta. Hal ini memungkinkan manusia tergelincir dari nilai-nilai keutamaan yang dapat mengotorkan kesucian jiwanya, menjauhkan diri dari karunia dan rahmat Allah SWT, maka datanglah syariat dengan petunjuk-petunjuk dalam tata cara berjual beli demi untuk menghindarkan manusia dari ketergelinciran (kesesatan) itu.
Islam mendorong orang jual beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan merumuskan tata cara untuk memperoleh harta. Menurut hokum alam dianggap sebagai suatu landasan dalam memenuhi segala keperluan dengan cara-cara dimana manusia dapat terhindar dari tipu muslihat dan kesesatan serta hal-hal lain yang dapat mengotori diri, dan menjatuhkannya dari kebersihan jiwa untuk terciptanya Insaniah yang utama, guna meningkat lebih tinggi kearah pendekatan diri kepada Allah SWT

Beberapa Rukun Jual Beli
1. Penjual dan Pembeli
Syarat-syaratnya :
a) Berakal : agar dia tidak terkicuh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual-belinya.
b) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa). Keterangan ini terdapat di dalam Al-qur’an, S. An-Nisa, 29. (suka sama suka)
c) Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta yang mubazir itu di tangan walinya. Firman Allah SWT :
“ Janganlah kamu serahkan harta orang-orang yang bodoh itu kepadanya, yang Allah menjadikan kamu pemeliharaanya, berilah mereka belanja dari harta itu (yang ada di tangan kamu)” (An-Nisa : 5)
d) Balig (berumur 15 tahun keatas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka dibolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak dibolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan mengadakan aturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2.. Uang dan Benda Yang Dibeli
Syarat Keduanya :
a) Suci : najis tidak sah dijual, dan tidak boleh dijadikan untuk dibelikan, seperti hewan yang diharamkan/bangkai yang belum dijamak.
b) Ada manfaatnya : tidak menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Mengambil tukarannya terlarang juga masuk kedalam arti menyia-nyikan harta yang terlarang dalam kitab suci.
c) Keadaan barang itu tidak dapat diserahkan : tidak sah menjual sesuatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, seperti ikan dalam laut, barang rampasan yang masih ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dirugikan (borg), sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan)
d) Keadaan barang yang menjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang menguasakan.
e) Barang itu diketahui oleh penjual dan pembeli, dengan terang zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya, sehingga tidak akan terjadi antara keduanya kecoh-mengecoh.
3. Lafaz (kalimat ijab dan qobul)
Ijab adalah perkataan penjualan, umpanya saya jual barang ini sekian. qobul adalah seperti kata si pembeli : saya terima (saya beli) dengan harga sekian. Keterangan ayant yang lalu mengatakan jual beli atas suka sama suka.

B. Ijarah (sewa menyewa)
Ijarah (sewa-menyewa) ialah akad atas manfaat benda yang diketahui dan tukaran (prestasi dari manfaat benda itu).
Contohnya : bila kita pergi dari Jakarta sampai Bogor dengan taksi. Kita sebagai penyewa disebut musta’jir. Sesampai di Bogor kita membayar ongkosnya dengan harga sekian dinamai ujarah, dan orang yang menerima sewa/upah disebut mu;jir.
Rukun dan syarat Ijarah :
1. penyewa dan yang mempersewakan, syarat keduanya :
a) Berakad
b) Dengan kemauan sendiri
c) Tidak pemboros (mubazir)
d) Telah dewasa, baik akal ataupun umurnya.
2. sewa (ujarah), syarat :
a) Jenisnya uang atau tukaran benda selain uang
b) Sifatnya tunai atau kredit

Upah mengajar Al-qur’an dan ilmu pengetahuan.
Mengajar Al-‘qur’an dan ilmu pengetahuan yang sehubungan dengan agama boleh mengambil upahnya. Karena itu menghilangkan waktu untuk mencari nafkah. Walaupun mengajar ini salah satu kewajiban orang yang berpengetahuan

C. Hutang Piutang (qiradl)
Hutang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian akan membayar yang sama dengan itu.
Hukumnya :
a) Sunat : memberi orang yang berhutang
b) Wajib : jika orang yang berhutang sangat perlu.
Rukunnya :
a) Sighah : perjanjian dua belah pihak yang berhutang
b) Orang yang berhutang dan yang berpiutang
c) Benda yang dihutangkan, yaitu sesuatu yang bernilai.

D. Ariyah (pinjam-meminjam)
Ariyah (pinjam-meminjam) ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain tanpa merusak zatnya, supaya zatnya dapat dikembalikan.
Rukun dan Syariat meminjam :
Yang meminjam dengan Syarat-syarat :
a) Baligh dan Berakal
b) Manfaat benda yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkannya.
Benda yang dipinjamkan (mu’aar) dengan syarat-syarat :
a) Benda yang tentu bermanfaat
b) Jika dikembalikan menfaatnya tidak sampai rusak.

E. Wadi’ah (petaruh)
Wadi’ah adalah menitipkan sesuatu pada orang lain yang menjaga dan memeliharannya dan memeliharannya dengan itikad baik (semestinya) atau goeder trouw.
Firman Allah SWT dalam Al-qur’an, S. An-nisa ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh supaya kamu membayar petaruh yang diserahkan kepada kamu terhadap pemilik”.
Rukun dan syarat Wadi’ah
a) Benda yang dipertaruhkan, syaratnya benda itu syah dimiliki oleh orang yang memberi petaruh. Benda yang dipetaruhkan inidisebut wadi’ah
b) Muwaddi’ (sipemberi petaruh) dan yang menerima petaruh (wadi’), syaratnya orang yang boleh bertasarruf, jadi orang gila, anak-anak tidak sah menjadi muaddi’ dan wadi’
c) Lafaz. Ijab dan Kabul menurut kebiasaan.

Hak dan Kewajiban Wadi’
Akad waddi’ah adalah percaya-mempercayai. Jadi jika benda tersebut rusak ditangan wadi’ maka ia tidak berkewajiban mengganti kerugian, terkecuali :
a) Rusak karena tanpa izin pemilik
b) Rusak karena sia-sia, tidak cukup penjagaan karena itikad tidak baik
Batalnya waddiyah
a) Salah seorang meninggal atau gila
b) Apabila wadi’(penerima petaruh) mengembalikan benda atau sebaliknya
c) Hancurnya benda dengan sendirinya
Hukum Menerima Petaruh
a) Sunat, jika ia sanggup menjaga petaruh tersebut, karena ini bantuan social
b) Haram, jika ia tidak sanggup, bagaikan ia membuka jalan kehancuran atau lenyapnya benda itu.
c) Makruh, jika ia dapat menjaga benda petaruh, tetapi tidak dapat menjamin keselamatan benda itu.
d) Wajib, jika sanggup dan dapat menjamin, serta hanya memberi petaruh terpaksa mempertaruhkan bendanya.



PENUTUP
Dalam syariah Islam memang sangat begitu diatur urusan-urusan seperti itu, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka menginginkan adanya interaksi antar sesame. Oleh karena itu banyak sekali kebutuhan yang berbeda-beda setiap dari mereka. Oleh itu pelu adanya aturan yang harus menjadi landasan mereka untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Dalam pembahasan diatas adalah sebagian aturan yang mengatur tentang masyarakat dalam kehhidupannya, dan seharusnya masih banyak lagi aturan-aturan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi tidak dapat peenyusun untuk menyelesaikan satu-persatu. Untuk itu penyusun sangat meminta maaf atas segala kekurangan dalam makalah ini.
By : M. Edwien Firdaus
univ Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar: