Minggu, 09 Desember 2007

Hukum Islam

EKONOMI SYARIAH
ISLAM

Pada dasarnya Allah SWT telah menjadikan menusia masing-masing berhajat kepada yang lain, supaya mereka bertolong-tolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kepentingan umum. Dengan cara demikian, kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, serta pertalian yang satu dengan yang lain menjadi semakin teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri, supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya muamalat, penghidupan manusia jadi terjamin pula sebaik-baiknya, perbantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Lukmanul Hakim kepada anaknya : “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yanghalal itu tidak akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit, (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya, (3) hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalat ialah tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain usaha.

A. Kedudukan Harta Dalam Islam
Isalm mengatur masalah masalah harta prtukarannya yaitu hal-hal yang berhubungan mengenai jual-beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, menjual sesuatu tanpa melihat zatnya, pinjam-meminjam, menitipkan bendanya, berwakil, memindahkan hutang dan tanggungan seseorang kepada orang lain, memjamin hutang atau menghadirkan benda atau orang ketempat yang ditentukan, melarang, menahan seseorang mengedarkan atau memindahkan hartanya, minta kembalikan benda yang hilang dengan pembayaran yang ditentukan, harta atau tanggungan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia, pesan atau amanah yang diucapkan ditulis oleh seseorang mengenai harta atau tanggungan yang wajib dilaksanakan oleh orang yang menerima wasiat.
Orang yang mengikuti ajaran-ajaran Islam di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rosul akan menarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti yaitu bahwa Iaslam adalah agama untuk hidup. (religion for life)
Tidak mengerankan bila harta itu di dalam sistem Islam mempunyai nilai yang tinggi, kedudukannya yang terhormat. Memang tidak diragukan lagi bahwa dalam hidup ini tidak bisa dicapai kesempurnaan, kebahagiaan, kehormatan, ilmu, kesehatan, kekuatan, kemakmuran dan ketinggian, kecuali dengan harta.
Al-qur’an memandang kepada harta dengan pandangan yang realistis, dinyatakannya harta itu dengan anak-anak, merupakan kebutuhan primer bagi manusia, kebutuhan bagi perseorangan maupun kepentingan bersama. Harta dan anak merupakan suatu amanah atau cobaan.
Islam adalah agama praktis, maka deengan hukum-hukumnya berdasarkan fakta-fakta telah diatur kebutuhan-kebutuhan hidup, dan pada waktu yang sama digabungkannya antara kepentingan-kepentingan rohani dan jasmani secara adil dan seimbang, dan Islam telah menggariskan jalan kearah kebahagiaan rohani. Sudah semestinya pula bila ia menggariskan jalan kearah kebahagiaan jasmani dengan memerintahkan cara-cara mencari harta dan memanfaatkannya. Islam menganjurkan supaya mencari harta melalui cara yang baik, dimana terdapat kebaikan bagi manusia, kegiata dan pekerjaan, kemakmuran dunia, perkunjungan berbagai negri, pergaulan dan perkenalan, bekerja sama dan tukar menukar kepentingan.

B. Jalan Mencari Harta dan Memanfaatkannya
Jalan mencari harta, diantaranya adalah :
1) Perdagangan
Islam memerintahkan mencari harta melalui perdagangan, mengemembara ke Yaman dan Ke Syam seperti yang telah dimungkinkan oleh Allah bagi orang Qureisy, dan Allah mengingatkan pula kebaikan dan karunia-Nya : Allah SWT berfirman dalam Al-qu’an, S Qureisy, ayat 1-5.
“ Karena lindungan Allah bagi orang Qureisy, yaitu lindungan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas, maka hendaklah mereka menyembah Allah menghadap keka’bah ini, yang telah memberi makan mereka dari kelaparan dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
2) Pertanian
Islam menyuruh mendapat harta itu dengan harta itu dengan mengerjakan pertanian dengan menghidupkan tanah dan mengelolannya.
Dalam hal ini Al-Qur’an menyebutkan : S. Abasa, ayat 24-32 :
“maka hendaklah manusia melihat kepada makanannya, bagaimana Kami mencurahkan air banyak sekali, kemudian Kami belah-belahkan bumi, maka Kami tumbuhkan disana biji-bijian, anggur dan sayuran, zaitundan korma, kebun-kebun yang hijau yang hijau lebat, buah-buahan dan rumput-rumput sebagai nikmat untukmu dan binatang-binatang kamu”.
3) Perindustrrian
Dianjurkan supaya mencari harta itu dengan jalan pekerjaan tangan atau industri, yaitu yang menjadi tiang yang kuat bagi suatu peradaban. Dalam Al-Qur’an banyak isyarat mengenai industri yang harus untuk kepentingan hidup ini, bahkan ada isyarat untuk mendirikan pabrik besi.
Allah SWT berfirman dalam Al-qur’an, S. Al-Hadid. 25 :
“pada besi itu ada kekuatan yang besar dan fanfaat yang banyak bagi manusia”.
4) Bangunan
Ada isyarat supaya didirikan istana dan bangunan-bangunan :
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an. S. An-Naml, 44 :
“kemudian dikatakan orang bulgis : masuklah kedalam mahligai ini. Tatkala dilihatnya lantai mahligai itu seolah-olah penuh air lalu disingsingkannya dari betisnya. Berkata Sulaiman : mahligai yang licin terbuat dari kaca-kaca”.
Allah memerintahkannya mencari harta melalui jalan-jalan yang macam itu, dan orang yang mencarinya dinamakan mencari karunia Allah. Sampai demikian Al-Qur’an memperhatikan soal-soal harta sehingga dianjurkan mencarinnya segera setelah selesai melakukan ibadah Jum’at yang wajib, dan tidak dicegahnya mencari rezeki kecuali khusus untuk melakukan ibdah ini.
Macam-macam Ekonomi Syariah Islam

Syariat Islam telah menerangkan masalah-masalah pengaturan dan pengarahan penggunaan harta benda didalam berbagai kehidupan manusia, yang diantaranya :
A. Bai’a (Jual beli)
Jual beli ialah tukar menukar sesuatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (aqad).
Kehidupan manusia didunia ini mempunyai dua segi : segi kebendaan yang dasarnya ialah pertukaran atau pada umumnya yang dasarnya ialah peribadatan. Melalui segi kebendaan, manusia memperoleh apa-apa yang akan dimakan, dan melalui segi kerohanian, ia memberikan dirinya, hatinya, akhlaknya dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan ibadat dan menjalankan perintahnya serta menjauhkan larangnya.
Dari segi kebendaan dapatt membukakan pintu syahwat hawa nafsu serta prsaingan, berlomba-lomba mencari banyaknya harta. Hal ini memungkinkan manusia tergelincir dari nilai-nilai keutamaan yang dapat mengotorkan kesucian jiwanya, menjauhkan diri dari karunia dan rahmat Allah SWT, maka datanglah syariat dengan petunjuk-petunjuk dalam tata cara berjual beli demi untuk menghindarkan manusia dari ketergelinciran (kesesatan) itu.
Islam mendorong orang jual beli sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan merumuskan tata cara untuk memperoleh harta. Menurut hokum alam dianggap sebagai suatu landasan dalam memenuhi segala keperluan dengan cara-cara dimana manusia dapat terhindar dari tipu muslihat dan kesesatan serta hal-hal lain yang dapat mengotori diri, dan menjatuhkannya dari kebersihan jiwa untuk terciptanya Insaniah yang utama, guna meningkat lebih tinggi kearah pendekatan diri kepada Allah SWT

Beberapa Rukun Jual Beli
1. Penjual dan Pembeli
Syarat-syaratnya :
a) Berakal : agar dia tidak terkicuh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual-belinya.
b) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa). Keterangan ini terdapat di dalam Al-qur’an, S. An-Nisa, 29. (suka sama suka)
c) Keadaannya tidak mubazir (pemboros) karena harta yang mubazir itu di tangan walinya. Firman Allah SWT :
“ Janganlah kamu serahkan harta orang-orang yang bodoh itu kepadanya, yang Allah menjadikan kamu pemeliharaanya, berilah mereka belanja dari harta itu (yang ada di tangan kamu)” (An-Nisa : 5)
d) Balig (berumur 15 tahun keatas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka dibolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak dibolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan mengadakan aturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2.. Uang dan Benda Yang Dibeli
Syarat Keduanya :
a) Suci : najis tidak sah dijual, dan tidak boleh dijadikan untuk dibelikan, seperti hewan yang diharamkan/bangkai yang belum dijamak.
b) Ada manfaatnya : tidak menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Mengambil tukarannya terlarang juga masuk kedalam arti menyia-nyikan harta yang terlarang dalam kitab suci.
c) Keadaan barang itu tidak dapat diserahkan : tidak sah menjual sesuatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, seperti ikan dalam laut, barang rampasan yang masih ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dirugikan (borg), sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan)
d) Keadaan barang yang menjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang menguasakan.
e) Barang itu diketahui oleh penjual dan pembeli, dengan terang zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifat-sifatnya, sehingga tidak akan terjadi antara keduanya kecoh-mengecoh.
3. Lafaz (kalimat ijab dan qobul)
Ijab adalah perkataan penjualan, umpanya saya jual barang ini sekian. qobul adalah seperti kata si pembeli : saya terima (saya beli) dengan harga sekian. Keterangan ayant yang lalu mengatakan jual beli atas suka sama suka.

B. Ijarah (sewa menyewa)
Ijarah (sewa-menyewa) ialah akad atas manfaat benda yang diketahui dan tukaran (prestasi dari manfaat benda itu).
Contohnya : bila kita pergi dari Jakarta sampai Bogor dengan taksi. Kita sebagai penyewa disebut musta’jir. Sesampai di Bogor kita membayar ongkosnya dengan harga sekian dinamai ujarah, dan orang yang menerima sewa/upah disebut mu;jir.
Rukun dan syarat Ijarah :
1. penyewa dan yang mempersewakan, syarat keduanya :
a) Berakad
b) Dengan kemauan sendiri
c) Tidak pemboros (mubazir)
d) Telah dewasa, baik akal ataupun umurnya.
2. sewa (ujarah), syarat :
a) Jenisnya uang atau tukaran benda selain uang
b) Sifatnya tunai atau kredit

Upah mengajar Al-qur’an dan ilmu pengetahuan.
Mengajar Al-‘qur’an dan ilmu pengetahuan yang sehubungan dengan agama boleh mengambil upahnya. Karena itu menghilangkan waktu untuk mencari nafkah. Walaupun mengajar ini salah satu kewajiban orang yang berpengetahuan

C. Hutang Piutang (qiradl)
Hutang piutang ialah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian akan membayar yang sama dengan itu.
Hukumnya :
a) Sunat : memberi orang yang berhutang
b) Wajib : jika orang yang berhutang sangat perlu.
Rukunnya :
a) Sighah : perjanjian dua belah pihak yang berhutang
b) Orang yang berhutang dan yang berpiutang
c) Benda yang dihutangkan, yaitu sesuatu yang bernilai.

D. Ariyah (pinjam-meminjam)
Ariyah (pinjam-meminjam) ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain tanpa merusak zatnya, supaya zatnya dapat dikembalikan.
Rukun dan Syariat meminjam :
Yang meminjam dengan Syarat-syarat :
a) Baligh dan Berakal
b) Manfaat benda yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkannya.
Benda yang dipinjamkan (mu’aar) dengan syarat-syarat :
a) Benda yang tentu bermanfaat
b) Jika dikembalikan menfaatnya tidak sampai rusak.

E. Wadi’ah (petaruh)
Wadi’ah adalah menitipkan sesuatu pada orang lain yang menjaga dan memeliharannya dan memeliharannya dengan itikad baik (semestinya) atau goeder trouw.
Firman Allah SWT dalam Al-qur’an, S. An-nisa ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh supaya kamu membayar petaruh yang diserahkan kepada kamu terhadap pemilik”.
Rukun dan syarat Wadi’ah
a) Benda yang dipertaruhkan, syaratnya benda itu syah dimiliki oleh orang yang memberi petaruh. Benda yang dipetaruhkan inidisebut wadi’ah
b) Muwaddi’ (sipemberi petaruh) dan yang menerima petaruh (wadi’), syaratnya orang yang boleh bertasarruf, jadi orang gila, anak-anak tidak sah menjadi muaddi’ dan wadi’
c) Lafaz. Ijab dan Kabul menurut kebiasaan.

Hak dan Kewajiban Wadi’
Akad waddi’ah adalah percaya-mempercayai. Jadi jika benda tersebut rusak ditangan wadi’ maka ia tidak berkewajiban mengganti kerugian, terkecuali :
a) Rusak karena tanpa izin pemilik
b) Rusak karena sia-sia, tidak cukup penjagaan karena itikad tidak baik
Batalnya waddiyah
a) Salah seorang meninggal atau gila
b) Apabila wadi’(penerima petaruh) mengembalikan benda atau sebaliknya
c) Hancurnya benda dengan sendirinya
Hukum Menerima Petaruh
a) Sunat, jika ia sanggup menjaga petaruh tersebut, karena ini bantuan social
b) Haram, jika ia tidak sanggup, bagaikan ia membuka jalan kehancuran atau lenyapnya benda itu.
c) Makruh, jika ia dapat menjaga benda petaruh, tetapi tidak dapat menjamin keselamatan benda itu.
d) Wajib, jika sanggup dan dapat menjamin, serta hanya memberi petaruh terpaksa mempertaruhkan bendanya.



PENUTUP
Dalam syariah Islam memang sangat begitu diatur urusan-urusan seperti itu, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka menginginkan adanya interaksi antar sesame. Oleh karena itu banyak sekali kebutuhan yang berbeda-beda setiap dari mereka. Oleh itu pelu adanya aturan yang harus menjadi landasan mereka untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing. Dalam pembahasan diatas adalah sebagian aturan yang mengatur tentang masyarakat dalam kehhidupannya, dan seharusnya masih banyak lagi aturan-aturan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, tetapi tidak dapat peenyusun untuk menyelesaikan satu-persatu. Untuk itu penyusun sangat meminta maaf atas segala kekurangan dalam makalah ini.
By : M. Edwien Firdaus
univ Muhammadiyah Jakarta
HUKUM SANKSI
&
PENERAPANNYA Di INDONESIA


Bila kita ingin membahas hukuman sanksi, maka kita tidak akan terlepas dari Pasal 10 KUHP. Karena di dalm pasal tersebut menjelaskan apa saja yang menjadi sanksi untuk para terpidana yang dijatuhkan oleh putusan hakim, kecuali putusan hakim kepada terdakwa atau pembuat tindak pidana, di putuskan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Dari sini kita akan membahas satu persatu apa saja yang menjadi sanksi putusan hakim kepada pembuat tindak pidana. Diantaranya dalam Pasal 10 KUHP menjelaskan bahwa urutan pertama yaitu sanksi pidana mati yang dimana dalam sanksi pidana ini banyak menimbulkan berdebatan para ahli hukum (Pro dan Konta) terhadap keefektivpan pidana ini terhadap para pembuat tindak pidana yang mendapat sanksi pidana ini.lalu setelah pidana mati, urutan kedua adalah pidana penjara atau sering dikenal dengan pidana perampasan kemerdekaan.. Lalu yang sanksi yang ketiga adalah pidana kurungan, yang mana pidana ini hampr sama dengan pidana penjara, hanya dalam pidana kurungan ini banyak sekali kelebihannya dari pidana penjara. Seperti minimum dan maksimum lamanya kurungan kepada pembuat tindak pidana, dan penempatan pidana kurungan ini terserah pada terpidana dimana ia ingin ditempatkan, dll. Dan urutan sanksi pidana yang ke empat adalah pidana denda. Yang juga menimbulkan perdebatan panjang para ahli hukum dalam menilai ke efektivpan sanksi pidana ini dengan melihat berkembangnya atau meningkatnya pelanggaran-pelanggaran di Negara ini. Dan sanksi terakhir adalah pidana tutupan. (Pasal 10 KUHP)
Maka jelas sudah urutan sanksi pidana pokok dalam pasal 10 KUHP tersebut. Tetapi alangkah baiknya kita menelusuri satu persatu sanksi pidana tersebut. Sehingga dengan sendirinya kita akan mengetahui mana saja sanksi yang yang sudah tidak efektiv dengan keadaan di Negara kita. Karena KUHP Nasional kita yang merupakan warisan dari Belanda itu rupanya sudah sangat ketinggalan jaman dengan seiringnya perkembangan di Negara kita. Bahkan KUHP kita sangat tertinggal jauh dengan Negara lain. Tetapi selepas dari pernyataan penulis di depan tadi apa salahnya kita membahas sanksi tersebut, diantaranya.

A. PIDANA MATI
Pidana mati adalah sebuah sanksi pidana dalam KUHP yang paling berat, karena pada dasarnya sanksi ini adalah urutan teratas atau paling tinggi di dalam sanksi pidana di dalam KUHP kita, dan sanksi ini telah menimbulkan banyak perdebatan para ahli hukum tanah air kita maupun perdebatan para ahli hukum Negara lain. Diantaranya pendapat mereka yang menentang hukuman pidana mati antara lain :
Urusan hidup dan matinya seseorang hanya tuhan yang berkuasa, maka Negara tidak berhak atas itu
Sanksi pidana mati itu dianggap kejam dan mengerikan
Sanksi pidana mati itu bersifat abadi, tidak dapat diubah lagi jika ternyata kelak tidak memiliki dasar yang kuat karena terpidana telah dihukum dan telah meninggal dunia.
Sanksi pidana mati tidak mampu memberantas tindak pidana

Tetapi sudah barang tentu bahwa mereka yang cenderung mempertahankan adanya pidana mati juga mempunyai alasan-alasan untuk itu, yang antara lain :
Pada dasarnya setiap sanksi pidana tiu dinilai mengandung kekejaman. Apapun hukumannya, sanksi kurungan dan sanksi penjara seumur hidup pada dasarnya juga bersifat kejam dan tidak manusiawi, lalu mengapa tetap ada?
Jika alasannya adalah kemanusiaan, bias-bisa semua sanksi pidana akan dihapuskan, karena sanksi akan dihapus karan sanksi itu memang kejam, sadis dan tidak manusiawi. Karena ringan dan beratnya sanksi itu memang implikasi dari tindak pidana pembuat
Mengenai kemungkinan hakim kekeliru, itu memang dapat terjadi. Bagaimanapun baiknya undang-undang dirumuskan. Kekeliruan itu dapat diatasi kembali dengan pentahapan upaya-upaya hukum dan pelaksanaannya,.

B. PIDANA PENJARA
Pidana penjara adalah salah satu bentuk sanksi perampasan kemerdekaan. Menurut P.A.F. Lamintang, pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang telah melanggar peraturan tersebut.
Roeslan Saleh menyatakan bahwa pidana penjara adalah pidana utama di antara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dapat dijatuhkan seumur hidup atau untuk sementara waktu.
Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negative terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.

C. PIDANA KURUNGAN
pada dasarnya pidana in sama dengan pidana penjara karena pidana ini juga sama merampas kemerdekaan sesorang atas perbuatannya. Tetapi pidana ini lebih ringan bila dibandingkan dengan pidana penjara, karena waktu lamanya pidana ini 1 hari s/d 1 tahun saja. Tidak boleh lebih dari itu. Dan penempatan dimana penahanan terpidana, terserah terpidana ingin ditempatkan, karena dalam tingkatan-tingkatan penjara tidak sama satu dengan penjara lainnya.

D. PIDANA DENDA
Pidana denda adalah sebuah sanksi yang terbawah lebih ringa dari pada sanksi-sanksi diatas. karena pidana ini hanya di berlakukan kepada seseorang yang hanya melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang. Bukan seseorang yang melakukan tindak pidan berupa kejahatan.

Sekiranya selesai juga penjelasan singkat untuk sanksi pidana yang terdapat dalam pasal 10 KUHP kita, tetapi pastinya didalam benak saudara akan terpikir apakah sanksi tersebut dapat seefektif dengan apa yang pembuatnya tujukan kepada masyarakat kita pada masa kini? Jawabannya tentu tidak…! oleh karena itu Tim Perancang KUHP yang buru, sedang berjuang untuk segera menyelesakan tugasnya agar penerapan sanksi dan penegakan hukum kita bisa tegak dan tidak ketinggalan jaman.
Dalam makalah ini juga sepintas memaparkaran sedikit perubahan yang di buat Tim Perancang KUHP 2004, pada khususnya penulis hanya memaparkan sanksi pidananya saja. Oleh sebab itu maka saudara akan mengetahui perbedaan dan perbandingan KUHP warisan belanda yang masih kita pakai sampai saat ini dengan KUHP baru kita yang sepertinya akan efektif bila di terapkan di Negara kita.


Perkembangan Pengaturan Jenis Sanksi (Pidana) Di Dalam Hukum Pidana


Secara dogmatis dapat dikatakan, bahwa di dalam Hukum Pidana terdapat tiga pokok permasalahan, yaitu :
a) Perbuatan yang dilarang
b) Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
c) Pidana yang diancam terhadap pelanggaran larangan itu

Sejalan dengan itu menurut Sauer ada Trias, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu :
a) Sifat melawan hukum (Unrecht)
b) Kesalahan (schuld)
c) Pidana (straf)

Diantara ketiga pengertian tersebut masalah pidana merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam pelajaran Hukum Pidana, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri. Sedangkan di dalam system penyelenggaraan Hukum Pidana (Crimminal Justice System) maka pidana menemempati posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak puidana maupun masyarakat luas. Lebih-lebih kalau keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “controversial”, sedangkan kebenaran dalam hal ini sifatnya relatif tergantung dari mana kita memandangnya. Masalah pidana dan pemidanaan di dalam sejarah umat manusia selalu mengalami perubahan, yang dilakukan sesuai dengan peradaban manusia itu sendiri. Perkembangan perumusan sangsi (pidana) di beberapa Negara terutama di Eropa Barat sudah demikian maju bhila dibandingkan dengan jenis sangsi pidana yang diatur dalam KUHP. Sebagai bahan informasi,Semoga makalah ini di buat agar mendapatkan gambaran bagaimana perkembangan sangsi di dalam Huku Pidana, dan hal ini mau atau tidak mau akan mempengruhi, Konsep Rancangan KUHP baru. Sebagai Tambahan (Penyusun Makalah) akan mengemukakan secara singkat, terhadap pembaharuan dan perkembangan jenis Sangsi Pidana yang diatur di dalam Konsep Rancangan KUHP Baru bila dibandingkan dengan KUHP warisan Belanda yang sampai saai ini masih berlaku.
Hal tersebut perlu di informasikan karena dalam rangka mengejar ketinggalan Hukum Pidana dari perkembangan teknologi canggih, maka terjadi peribahan-perubahan Hukum Pidana terutama system sangsinya dengan pesatnya. Ada Negara yang melakukan revisi total KUHP- nya seperti Jerman, Austria (1975), RRC (1980). Ada pula yang terus menerus menyisipkan dan mencabut pasal-pasal tertentu, seperti Belanda, yang hamper setiap tahun melakukan perubahan KUHP. Indonesia termasuk Negara yang sangat lamban melakukan perubahan KUHP. Sebaga bahan pembanding Jerman melakukan perubahan sangat luas yang mereka sebut rivisi yang pada hakikatnya merupakan penyusunan KUHP Baru pada tahun 1975 dengan Undang-undang reform KUHP yang ke- 13 (13 Juni 1975) KUHP Baru ini pun berkali-kali direvisi dalam kurun waktu sangat pendek.
Reform ke- 14 (22 April 1976), Reform ke- 15 (13 Juni 1976), Undang-undang 2 Juli 1976, Undang-undang kejahatan ekonomi 29 Juli 1976, Reform ke-16 (16 Juli 1979), Reform ke-17 (21 Desember 1879), Reform ke-18 (28 Maret 1980), Reform ke-19 (7 Agustus 1981), Reform ke-20 (8 Desember 1981). Sesudah itu beberapa lagi Undang-undang dikeluarkan sebelum Reform ke-21 (13 Juli 1985), Refprm ke-22 (18 Juli 1985), lalu ada lagi Amandemen KUHP 18 Juli !985, disusul Reform ke-23 (4 April 1986), Undang-undang kejahatan Ekonomi Kedua 15 Mei 1986 dan Undang-undang Anti Terorisme 19 Desember 1986. Jika melihat perkembangan pembaharuan (reform) dan Undang-undang Jerman yang dikeluarkan dalam kurun waktu 11 tahun (1975-1986), adalah upaya untuk mengejar ketinggalan Hukum Pidananya.


A. Generasi Pembaharuan dalam Sistem Sangsi Dan Pidana

P.J.P. Tak, seorang Guru Besar di Universitas Katolik Nijmengen Belanda, dalam makalahnya yang berjudul “The Advencement of The Fourth Generation of Sanctions of Western Europe” (UNAFEI Resource Material No. 38) mengemukakan, bahwa ada empat generasi system sanksi pidana (Modern) yaitu :

Generasasi pertama system sanksi atau pidana di mana pidana perampasan kemedekaan (penjara) merupakan pidana utama untuk mengganti pidana mati, pidana siksa badan, pidana kerja paksa dan pidana mendayung kapal. Ini terutama tercantum dalam KUHP Negara-negara Eropa Barat. Pidana perampasan kemerdekaan (penjara) ini dipandang bukan saja lebih berprikemanusiaan dan rasional, tetapi juga untuk rehabilitasi dan perbaikan kepada pelanggar. Sisa pidana mati di samping pidana penjara masih ada di beberapa Negara, seperti Belgia, Irlandia, Yunani dan Turki tetapi telah lama di hapus di Portugal 1967, Nederland 1870, Norwegia Raya 1965, Spanyol 1978 dan Perancis 1981. yang masih belum di hapuskan tidak lagi menerapkan dalam praktek (Abolitio de Facto).
Generasi kedua system sanksi pidana ditandai dengan tambah populernya pidana penjara di Eropa Barat. Kita mengambil acuan Negara-negara di Eripa Barat, karena negera-negara tersebutlah telah memberi warna hukum (pidana) negara-negara berkembang jajahan mereka, termasuk Indonesia yang KUHP-nya (juga WvK dan BW) bersumber pada belanda. Bahkan Jepang dan Thailand yang tidak pernah dijajah tidak luput dari pengaruh hukum pidana Negara-negara Eropa Barat (Jepang dipengaruhi oleh Jerman, sedangkan Thailand oleh Inggris).
Generasi yang ketiga yaitu, usaha mengefektifkan pidana denda sebagai sanksi. Pidana denda di dalam KUHP Belanda yang semula sama dengan dalam KUHP kita, yaitu ditentukan maksimumnya secara khusus pada setiap delik yang sesuai dengan kadar seriusnya, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum (sama untuk semua delik). Tidak dikenal penerapan sangsi denda bersama dengan pidana penjara. Tetapi kemudian, Belanda mengubahnya ada delik tertentu umumnya yang menimbulkan kerugian materil yang dimungkinkan pengenaan denda bersama pidana penjara. Juga Belanda memperkenalkan system denda berdasarkan kategori. Kategori I sampai dengan kategori IV. Semua ini tentulah untuk mengefektifkan pidana denda itu. Semua delik dalam KUHP Belanda juga alternative dendanya jika ada pidana penjara.

System pidana denda yang baru diperkenalkan oleh Negara-negara Skandinavia (Filandia dan Swedia), kemudian diikuti oleh Jerman, Austria, Perancis dan Portugal, yang disebut denda harian (day fine), maksudnya denda didasarkan kepada kemampuan keuangan orang per hari. Tentulah pendapatannya per hari dikurangi utang-utangnya. Jadi, untuk delik yang sama dipidana denda tidak sama kerena ditentukan berdasarkan kepada kemampuan keuangan pelanggar. Satuan hari berbeda antara Negara yang satu dengan yang lain.
Di Jerman hanya yang pidana 3 bulan atau kurang diganti dengan denda harian. Di Perancis hanya delik-delik ringan yang dikenakandenda harian dan dalam praktek sangat dikit kasus yang dikenakan denda harian itu.
Ada Negara-negara yang menerapkan denda harian secara konsekuen misalnya Yunani dalam Pasal 82 KUHP-nya ditentukan, bahwa semua pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan dikonversi menjadi denda harian. Bahkan pengadilan dapat mengenakan denda harian sampai pada pidana penjara 18 bulan jika dipandang cukup memadai menerapkan piodana denda harian untuk membuat jera pelanggar untuk melakukan delik berikutnya. Demikian, sehingga dari semua pidana perampasan kemerdekaan Yunani, hanya 4 % dilaksanakan di penjara.

Generasi ke empatsistem sangsi pidana muncul ketika pidana yang ditunda dan pidana denda mulai dirasakan juga kurang jika diterapkan secara luas, karena akan mengurangi kredibilitasnya. Alternatif lain dari pidana perampasan kemerdekaan mulai ditemukan yaitu sanksi-sanksi alternatif. Yang dimaksud dengan sanksi alternative itu, ialah pidana kerja social, pidana pengawasan (control) dan perhatian kepada korban kejahatan mulai meningkat, sehingga diperkenalkan ganti kerugian kepada korban kejahatan oleh pelanggar sebagai sanksi alternatif

Dalam konferensi International mengenai Prevention Of Crime and Treatment of Offender ke-7 dikeluarkan resolusi untuk mengurangi populasi pidana penjara, alternatif pidana penjara dan integrasi social narapidana. Menurut P.J.P Tak, hanya tiga alternatif yang sesuai dengan resolusi itu, yaitu :
kontrak untuk pembinaan (Contrack Treatment).
pencabutan dan larangan mengenai hak-hak dan izin (deprivation and interdicts Concerning Right or licences)
Kerja social (Community servise).

Kontrak untuk pembinaan diperkenalkan di Swedia dengan Undang-undang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1988 yang telah di mulai dengan eksperimen sejak tahun 1978. ini merupakan sanksi yang disetujui oleh pelanggar, berupa pembinaan atau Treatment terutama pada pemabuk atau pecandu obat bius atau pelanggar yang memerlukan pembinaan atau penyembuhan. Pengadilan akan memutuskan Contract treatment sebagai bagian dari syarat percobaan. Jika pelanggar melanggar kontrak ini, ia akan menjalani pidana penjara. Lamanya pembinaan (treatment) dan supervise sesudahnya di batasi sampai 2 tahun.
Mengenai pencabutan atau larangan hak dan izin, contohnya Perancis, yang dengan Undang-undang 11 juli 1975, menentukan satu atau lebih sanksi ini sebagai pidana utama.
Mengenai Pidana penjara Kerja Sosial (Community servise order) yang juga telah tercantum di dalam konsep RUU KUHP Indonesia, dibeberapa Negara masih dalam tahap percobaan, seperti Norwegia, Denmark dan Belanda.





PERKEMBANGAN JENIS SANKSI (PIDANA) DI DALAM KONSEP RANCANGAN KUHP BARU 2004

Perkembangan pengatiran jenis-jenis sanksi pidana dalam Hukum Pidana, sudah lebih maju bila dibandingkan dengan KUHP warisan Belanda (Pasal 10 KUHP).
Jenis jenis Pidana dalam konsep Rancangan KUHP Nasional diatur di dalam Pasal 62 ayat (1) yang terdiri dari :
Pidana Penjara
Pidana Tutupan
Pidana Pengawasan
Pidana denda, dan
Pidana Kerja sosial.

Sedangkan Pidana Tambahan di muat dalam Pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah :
Pencabutan hak-hak tertentu
Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan
Pengumuman putusan hakim
Pembayaran ganti rugi dan
Pemenuhan kewajiban adapt setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup

Sedangkan Pidana Mati menurut Konsep Rancangan KUHP Nasional dilepaskan dari paket pidana pokok dan dianggap mempunyai sifat khusus. Serta diancamkan dan dijatuhkan semata-mata untuk mencegah dilakukannya tindak pidana tertentu dengan menegakan norma hukum demi mengayomi masyarakat (Pasal 63 jo. Pasal 84)
Beberapa hal yang perlu dicatat dan tidak terdapat di dalam KUHP (WvS) sekarang ini, yaitu diaturnya secara khusus tujuan pemidanaan yaitu :
Mncegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. (Pasal 51 ayat (1))

Di samping itu juga dimuat Pedoman Pemidanaan yang berlaku bagi Hakim sebagai bahyan pertimbangan di dalam memutuskan suatu kasus dalam perkara pidana yaitu :
a. Kesalahan pembuat tindak pidana
b. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana
c. Sikap batin pembuat tindak pidana
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana
e. Cara melakukan tindak pidana
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
i. Pemaafan dari korban atau keluarganya, dan atau
j. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana dilakukannya (Pasal 52 ayat (1))

Hal baru yang perlu diinformasikan adalah pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan dalam hal dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. Terdakwa berusia di bawah 18 tahun atau di atas 70 tahun
b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana
c. Kerugian dan penderitaan korban tindak pidana tidak terlalu besar
d. Terdakwa telah membayar ganti rugi kepada korban
e. Terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar
f. Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain
g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut
h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi
i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain
j. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi terdakwa dan keluarganya
k. Pembinaan yang bersifat non-institisional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa
l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa
m. Tindak pidana terjadi dikalangan keluarga atau
n. Terjadi karena kealpaan. (Pasal 68)

Ketentuan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 1946 tentang Pidana Tutupan diatur pula di dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional, yang diatur di dalam Pasal 73, yang berbunyi :
1) Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku, jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

Namun sebenarnya ia lebih merupakan cara pelaksanaan pidana penjara yang bersifat istimewa (Bijzondere strafmodaliteit)
Dan jenis pidana baru yang terdapat di dalam KUHP yaitu pidana penjara Pengawasan, yang diatur di dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional, Pasal 74,75 dan 76.
Dan selanjutnya, untuk mengantipasi nilai mata uang makin menurun maka Konsep Rancangan KUHP Nasional di dalam mengatur masalah pidana denda menggunakan kategorisasi, dengan ditentukan minimum yaitu Rp. 15.000,-

Maksimum denda ditetapkan berdasarkan kategori. Ada 6 kategori, yaitu :
Kategori I Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah)
Kategori II Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
Kategori III Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah)
Kategori IV Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah)
Kategori V Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Kategori VI Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah)

Kategori tersebut telah mendapat pengaruh dari WvS Belanda, yang sudah memakai system kategori di dalam perumusannya. Tujuan utama penggunaan kategori denda adalah :
agar diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana (ada enam kategori)
agar mudah melakukan perubahan, apabila terjadi perubahan dalam keadaan ekonomi dan moneter di Negara kita.

Sedangkan dalam masalah pidana mati, Konsep Rancangan KUHP Nasional, masih tetap menganutnya akan tetapi penempatannya dikeluarkan dari paket urutan-urutan pidana, dan mempunyai sifat khusus, hal ini untuk menampung Pro Pidana Mati dan Kontra pidana mati. Hal yang cukup menarik untuk menjembatani antara pandangan yang menolak pidana mati (Abolisionis) dan yang mempertahankan pidana mati (Retensionis) diatur pula di dalam Pasal 86 yaitu :
“Dalam hal pidana mati harus dijatuhkan tetapi hakim memandang bahwa pidana mati tidak perlu dilaksanakan dengan segera mengingat reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak trlalu besar, terpidana menunjukan rasa menyesali dan ada harapan untuk memperbaiki kedudukan terpidana dalam penyertaan meringankan maka hakim dapat memerintahkan agar pidana mati tersebut ditunda pelaksanaannya dengan masa percobaan selama sepuluh tahun.”

Dalam hal hakim memerintahkan penundaan pidana mati sebagaimana tersebut diatas, maka bila mana dalam masa percobaan terpidana menunjukan sikap dan tindakan terpuji, maka dengan Keputusan Menteri Kehakiman pidana mati dapat di ubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun.
Apabila dalam masa percobaan tapi tidak menunjukan rasa menyesal dan tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

by : M edwien firdaus
univ Muhammadiyah Jakarta